Minggu, 13 April 2014

TB MDR Kisahku

Tidak ada seorang pun yang dapat memahami bagaimana menderitanya orang yang terkena serangan bakteri TB selain pasien itu sendiri. Pahit getir berjuang melawan penyakit TB, termasuk menghadapi sikap diskriminatif dari orang-orang di sekitarnya, telah dirasakan Yulinda Santosa. Karena itu, dia ingin berbagi pengalaman dan membantu sesama penderita TB untuk menjadi pejuang tangguh. Aktivitas sosial yang dilakoni Yulinda Santosa mungkin masih jarang dilakukan oleh kebanyakan orang. Pasalnya, apa yang dilakukan Uli, demikian dia biasa disapa, memang membutuhkan kesabaran dan ketulusan luar biasa besar. Bagaimana tidak, dia terbiasa menyambangi para penderita penyakit tuberkulosis (TB) dan keluarganya satu per satu untuk sekadar mengingatkan agar pasien rutin dan patuh meminum obat. Tak lupa dia juga memberikan edukasi kepada keluarga pasien dan masyarakat terkait penyakit TB. Dalam menjalankan kegiatannya itu, terkadang Uli mesti naik-turun angkutan umum atau menumpang motor teman. Demi meringankan beban para penderita TB, Uli pun tak sungkan merogoh kocek sendiri yang diperolehnya dari hasil bekerja lepas atau honor undangan sebagai pembicara dalam seminar kesehatan terkait TB. Aktivitas sosial Uli ternyata tak berhenti di situ. Dia kerap kerap bolak-balik Bogor–Rumah Sakit Persahabatan untuk sekadar berbagi pengalaman dengan pasien-pasien TB yang tengah menjalani pengobatan di rumah sakit tersebut. Rumah Sakit Persahabatan memang merupakan salah satu rumah sakit rujukan untuk pasien TB, khususnya bagi penderita multi drug resistance (MDR). Multi drug resistance merupakan salah satu fase penyakit TB ketika bakteri TB telah resisten terhadap beberapa obat sehingga penderitanya harus menjalani pengobatan rutin setidaknya selama dua tahun. “Banyak sekali anggapan salah tentang TB di masyarakat, dan saya ingin membagi pengalaman saya agar masyarakat memahami apa itu TB dan bagaimana menanganinya,” kata Uli di Bogor, pekan lalu. Menurut Uli, tidak ada seorang pun yang dapat memahami bagaimana menderitanya orang yang terkena serangan bakteri TB selain pasien itu sendiri. Penderitaan akibat penyakit TB itu nyatanya pernah pula dialaminya. Delapan tahun lebih Uli harus berjuang hingga akhirnya dinyatakan sembuh pada 2013. Selama menjalani pengobatan, Uli merasakan benar bagaimana susahnya berjuang melawan berbagai rasa sakit dan tekanan-tekanan mental pada dirinya. Dikucilkan dan diperlakukan diskriminatif oleh teman-teman, bahkan keluarga sendiri, dirasa Uli sebagai pukulan terberat. Karena penyakit yang dideritanya itu, Uli bahkan pernah diusir dari rumah kos yang ditempatinya saat menjalani pengobatan di RS Persahabatan. “Gelas dan piring saya sengaja dipisahkan. Setiap berbicara dengan orang lain, mereka menutup hidung. Saya dianggap penyebar penyakit,” ujar dia dengan air mata berurai. Tekanan mental akibat dikucilkan itu menjadi beban lain yang harus dipikulnya. Belum lagi dia harus berjuang melawan efek dari obat-obatan yang dikonsumsi. Uli bahkan merasa seperti dibuat gila oleh obat-obatan itu. Bayangkan saja, dalam sehari, dia harus meminum 15 jenis obat. Belum lagi dia juga harus menerima suntikan secara rutin dalam delapan bulan pertama. Efek dari obat-obatan itu membuat kulitnya gosong, rambut rontok, mual-mual, bahkan berhalusinasi. “Banyak teman yang harus berkonsultasi dengan dokter jiwa karena kuman TB-nya menyerang saraf otak,” ujar Uli. Di tengah perjuangan untuk bertahan dalam pengobatan yang panjang dan melelahkan, Uli dihadapkan pada kenyataan getir, satu per satu teman-temannya yang juga menderita TB meninggal dunia. Namun, kondisi itu tak lantas menghancurkan semangat hidupnya. Uli justru memupuk harapan. “Kalau Tuhan mengizinkan saya sembuh, saya akan membantu pasien agar mereka tidak sampai mengalami apa yang saya alami,” tuturnya. Pejuang Tangguh Harapan itu coba dia realisasikan melalui berbagai jalan. Salah satunya melalui pendirian komunitas khusus untuk pasien TB dengan kasus MDR. Pendirian komunitas yang diberi nama PETA itu berawal dari rasa solidaritas dari sesama pasien saat menjalani pengobatan di RS Persahabatan. Komunitas PETA fokus memberikan dukungan kepada pasien-pasien TB-MDR. Adapun kegiatan yang dilakukan anggota komunitas antara lain berupa hospital visit dan home visit, yakni memberikan edukasi tentang TB kepada masyarakat dan keluarga pasien serta memberikan motivasi bagi para pasien. “Agar mereka terus semangat menjalani pengobatan karena memang tidak mudah,” tambah Uli. Nama PETA diambil dari singkatan pejuang tangguh. Filosofinya, menurut Uli, pasien TB tak ubahnya seorang pejuang yang tidak hanya pejuang untuk diri sendiri, tetapi juga berjuang untuk tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Melalui komunitas yang kini baru satu tahun itu, Uli bertekad untuk terus melanjutkan perjuangan rekan-rekannya sesama penggagas PETA yang telah berpulang ke haribaan-Nya. Bagi Uli, adalah sebuah kebahagiaan manakala dia berhasil menemukan dan membantu pasien TB untuk mau berobat hingga akhirnya sembuh dari penyakit tersebut. Artinya dia tidak hanya berusaha menyelamatkan satu nyawa, tetapi juga melindungi masyarakat dari ancaman TB. “Kalau pasiennya sembuh, artinya kan kita sudah memutus mata rantai TB,” papar Uli. Uli menyadari bahwa apa yang dilakukannya saat ini belum memiliki dampak luar biasa. Meski begitu, dia meyakini dukungan terhadap pasien TB merupakan hal penting dalam proses penyembuhan. “Mereka jangan dikucilkan. Mereka justru harus didampingi selama masa pengobatan,” pesan Uli. nanik ismawati Berkah di Balik Penderitaan Uli bersyukur TB dapat mempertemukan dia dengan dunianya saat ini, menjadi relawan dan sering berinteraksi langsung dengan masyarakat. Penyakit TBC yang menggerogoti Yulinda Santosa membuatnya nyaris frustrasi dan berpikir akan mati. Namun, perasaan pesimistis itu, untungnya, tak berlama-lama dibiarkannya. Yulinda yang biasa dipanggil Uli justru bangkit melawan penyakitnya itu. Kini, Uli justru mengaku sangat bersyukur atas sakit yang pernah dideritanya itu. Pasalnya, dia merasa TB justru telah membawanya menemukan arti hidup. Pengalaman menderita penyakit TB selama bertahun-tahun membuatnya paham tentang seluk beluk penyakit itu. Dia pun memperingatkan masyarakat bahwa penyakit TB bisa menyerang siapa saja. Uli menceritakan, saat menjalani perawatan di RS Persahabatan, Jakarta, beberapa teman sesama penderita TB berasal dari keluarga berada. “Mereka mencoba berobat ke luar negeri, tetapi tetap akhirnya kembali lagi ke RS Persahabatan,” tambah Uli. Sejak menderita sakit, Uli meyakini bahwa TB akan menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Oleh karena itu, dia mengaku tidak pernah menyesali, terlebih marah, atas penyakit yang dia derita. Sebaliknya, Uli berusaha menikmati dan menerima musibah yang menimpanya itu dengan penuh keikhlasan. “Saya kan terkena TB karena awalnya teman yang terkena. Tapi saya tidak mungkin marah karena siapa saja bisa terkena TB,” ujar Uli yang mengaku lebih pasrah dalam menjalani hidup setelah TB menyerangnya. Uli bersyukur TB dapat mempertemukan dia dengan dunianya saat ini, yakni menjadi relawan dan sering berinteraksi langsung dengan masyarakat. Hal tersebut diakui Uli memang menjadi cita-citanya sejak kecil. “Pokoknya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama, dan ternyata jalannya ya seperti ini dulu,” ujar dia. Akibat penyakit TB yang menyerangnya, kini Uli terpaksa hidup hanya dengan satu paru-paru dan live. Walaupun begitu, Uli tetap bersemangat menjalani beragam aktivitas, termasuk aktivitas sosialnya yang terkait dengan edukasi penyakit tersebut kepada masyarakat. Dia pun rajin berbagi pengalaman agar penderita penyakit TB memiliki motivasi tinggi untuk sembuh dari penyakit tersebut. Lantas, sampai kapan Uli akan menjalankan aktivitas sosialnya itu? “Sampai masyarakat tidak perlu bantuan saya lagi karena kita sudah bebas TB,” kata dia lugas. Uli menambahkan meski nantinya dia menikah dan berkeluarga, dirinya akan tetap melakoni tugas-tugas yang dikerjakannya. “Suami harus bisa menerima karena apa yang saya lakukan insya Allah menjadi amal ibadah kelak,” harap Uli. nanik ismawati Nama :Yulinda Santosa Tempat, Tanggal Lahir: Bogor, 10 Juli 1987 Pendidikan : Sekolah Menengah Umum (SMU)